• Home
  • Sumut
  • EKSPLANASI DEMOKRASI DALAM SISTEM MEKANIS TERBUKA PEMILIHAN UMUM INDONESIA
Image

EKSPLANASI DEMOKRASI DALAM SISTEM MEKANIS TERBUKA PEMILIHAN UMUM INDONESIA

Oleh : Zainal Abidin, M,Pdi.

Email : [email protected].

Abstract

General elections are an important means for the state to guarantee the legitimacy of the government to the people. In addition, general elections also aim to maintain the democracy of a sovereign country and guarantee the implementation of citizens’ human rights. Also in Indonesia, regular general elections are held every 5 (five) years. Since 2004, Indonesian elections have experienced a transition from a closed mechanism to an open mechanism influenced by reforms to safeguard democracy and sovereignty and respect citizens’ political rights. The open mechanical system has undergone changes since it was first used in 2004, especially in obtaining valid votes in elections. Therefore, this study will focus on the analysis of democracy implemented in elections through an open mechanism system, and various variants of the open mechanism system in Indonesia.

This study was conducted using normative research methods, using primary legal materials in the form of election laws, and secondary legal materials from various literature and scientific articles that are relevant to the issues discussed in the research. The results will be presented in the form of problem formulation and analysis of various open mechanical systems applied in Indonesia. This study describes elections in countries that are held fairly and achieve democracy and popular sovereignty. Furthermore, there are various weaknesses in the interpretation of democracy in the variations in the application of an open mechanical system in Indonesian elections.

Abstrak

Pemilihan umum merupakan sarana penting bagi negara untuk menjamin legitimasi pemerintah terhadap rakyat.

Selain itu, pemilihan umum juga bertujuan untuk menjaga demokrasi negara berdaulat dan menjamin pelaksanaan hak asasi warga negara. Juga di Indonesia, pemilihan umum rutin diadakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Sejak tahun 2004, pemilihan umum Indonesia telah mengalami transisi dari mekanisme tertutup menjadi mekanisme terbuka yang dipengaruhi oleh reformasi untuk menjaga demokrasi dan kedaulatan serta menghormati hak politik warga negara.

Sistem mekanis terbuka mengalami perubahan sejak pertama kali digunakan pada tahun 2004, khususnya dalam memperoleh suara sah dalam pemilu. Oleh karena itu, kajian ini akan fokus pada analisis demokrasi yang diimplementasikan dalam pemilu melalui sistem mekanisme terbuka, dan berbagai varian sistem mekanisme terbuka di Indonesia.

Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian normatif, dengan menggunakan bahan hukum primer berupa undang-undang pemilu, dan bahan hukum sekunder dari berbagai literatur dan artikel ilmiah yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

Hasilnya akan disajikan dalam bentuk rumusan masalah dan menganalisis berbagai sistem mekanik terbuka yang diterapkan di Indonesia.

Studi ini mendeskripsikan pemilu di negara-negara yang diselenggarakan secara jujur ​​dan mencapai demokrasi dan kedaulatan rakyat. Lebih lanjut, terdapat berbagai kelemahan interpretasi demokrasi dalam variasi penerapan sistem mekanis terbuka dalam pemilu Indonesia.

PENDAHULUAN

Demokrasi adalah konsep universal yang berlaku untuk semua negara modern berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat dan perwujudan hak sipil dan politik. Salah satu wujud demokrasi adalah legitimasi dan legitimasi suksesi pemerintahan melalui penyelenggaraan pemilihan umum. Dalam pandangan Hasuddin Harris, pemilihan umum merupakan bentuk pendidikan politik secara langsung, terbuka, dan massal, yang bertujuan untuk mencerdaskan pemahaman politik masyarakat dan meningkatkan kesadaran berdemokrasi.

Pemilu adalah bentuk demokrasi prosedural yang sebenarnya, dan sementara demokrasi tidak sama dengan hak pilih universal, hak pilih universal adalah salah satu aspek terpenting dari demokrasi dan juga harus dilakukan dengan cara yang demokratis. Maka, biasanya di negara-negara yang menamakan dirinya demokrasi, tradisi pemilunya adalah memilih pejabat publik di bidang legislatif dan eksekutif di tingkat pusat dan daerah.

3 Veri Junaidi menyatakan bahwa pemilu dan demokrasi adalah “kondisi yang diperlukan” dan yang satu tidak dapat ada tanpa yang lain. Dalam arti tertentu, pemilu dimaknai sebagai proses pencapaian demokrasi atau penyerahan kedaulatan rakyat kepada calon tertentu untuk menduduki jabatan politik. Mengubah pemerintahan dengan undang-undang.

Pemilihan umum tahun 2004 dapat dikatakan sebagai awal dari transformasi sistem pemilu mekanis Indonesia dari sistem mekanis tertutup menjadi sistem mekanis terbuka.

Sebab, setiap warga negara berhak memilih langsung wakil rakyat dan presiden. Dalam hal ini, partai politik tidak lagi dapat membagikan suara yang diperoleh secara proporsional menurut nomor urut calon wakil rakyat, tetapi menurut jumlah suara yang diperoleh calon wakil rakyat perseorangan.

Namun, sistem pemilihan mekanis terbuka seperti itu tidak dapat dilakukan tanpa berbagai perubahan. Oleh karena itu, akan dikaji berbagai perubahan terkait penerapan sistem mekanis terbuka dalam pemilu Indonesia.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini mempelajari norma hukum dalam berbagai aspek, kecuali penerapan atau implementasi dari norma hukum yang dipelajari.

Penelitian hukum normatif juga dikenal sebagai penelitian kepustakaan karena hanya menggunakan sumber data sekunder seperti peraturan perundang-undangan atau literatur yang terkait dengan bidang utama penelitian.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

Semua bahan hukum yang terkait dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini akan dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Proses ini melibatkan identifikasi sumber bahan hukum, pemilihan bahan hukum yang relevan, dan pengumpulan bahan hukum yang diperlukan.

PEMBAHASAN

Konsep negara hukum telah konsisten diterapkan di Indonesia sejak awal kemerdekaan dan masih dipertahankan hingga kini. Bahkan setelah dilakukan amandemen pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Menurut Nimatul Huda, hal ini berarti bahwa segala sikap, kebijakan, dan perilaku dari alat negara dan penduduk harus berdasarkan hukum. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik dari alat negara maupun penduduk.

Nimatul Huda juga menyatakan bahwa konsep negara hukum berarti bahwa hukum adalah pemegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara, dengan prinsip “the Rule of Law, and Not of Man” yang memiliki kesamaan dengan paham nomokrasi, yaitu kekuasaan dijalankan oleh hukum. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan negara hukum di Indonesia, prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat perlu dibangun dan ditegakkan.

Menurut Jimly Asshiddiqie, konsep negara hukum yang disertai dengan penegakan demokrasi dan kedaulatan rakyat dapat mencegah terjadinya situasi di mana hukum dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan kekuasaan semata karena kekuasaan tersebut berasal dari kedaulatan rakyat dan demokrasi.

Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa perlu ditegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Dasar yang diimbangi dengan penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis.

Dalam konteks penyelenggaraan pemilu di Indonesia, tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan Kedaulatan rakyat adalah saat rakyat memiliki hak, tanggung jawab, dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna melayani seluruh lapisan masyarakat.

Selain itu, rakyat juga memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam hal ini, pemilu menjadi alat bagi rakyat untuk menentukan pemimpin melalui pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsung. Selain itu, rakyat juga memilih wakil rakyat yang akan menjalankan fungsi pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi setiap orang dalam menjalankan fungsinya masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.

K. Marijan memberikan definisi terkait sistem pemilihan umum dari perspektif yang hampir sama. Menurutnya, sistem pemilihan umum adalah alat yang digunakan untuk menerjemahkan suara yang diperoleh dalam pemilihan umum menjadi kursi yang dimenangkan oleh partai atau calon. Untuk menerjemahkan suara tersebut, digunakan variabel-variabel dasar seperti formula pemilihan, struktur pemungutan suara, dan besaran wilayah pemilihan.

Galuh Kartiko menjelaskan dalam tulisannya bahwa penyelenggaraan pemilihan umum merupakan implementasi dari fungsi rekruitmen politik yang seharusnya ada dalam sistem demokrasi.

Oleh karena itu, dalam teori, sistem pemilihan umum menentukan pola pemberian suara, pembagian daerah pemilihan, pola kampanye, cara pemberian dan penghitungan suara. Hasil dari sistem pemilihan umum tersebut memberikan kesempatan bagi pemilih untuk menentukan preferensinya, apakah memilih partai atau individu yang menjadi calon dalam pemilihan umum.

Dengan pemahaman ini, pendapat Galuh Kartiko menyatakan bahwa hasil pemilihan umum akan menentukan loyalitas pemilih, apakah loyalitas terhadap partai politik atau terhadap individu yang menjadi calon dari partai politik yang mengikuti pemilihan umum.

Sistem pemilihan mekanis menjadi opsi utama dalam melaksanakan pemilihan umum karena dianggap lebih demokratis dan menghargai hak asasi individu di Negara.

Dengan sistem ini, setiap orang yang memenuhi aturan hukum memiliki hak untuk memilih dan ikut menentukan hasil pemilihan umum.

Sistem pemilihan mekanis ini terdiri dari sistem perwakilan distrik/mayoritas (single member constituencies) dan sistem perwakilan proposional (proportional representation) yang didasarkan pada pembagian kursi di lembaga perwakilan rakyat.

Menurut Ismail Sunny, sistem distrik disebut juga sebagai sistem “pemenang mengambil semua” karena negara dibagi menjadi distrik atau daerah pemilihan yang sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat yang dibutuhkan untuk dipilih. Oleh karena itu, setiap distrik atau daerah pemilihan akan diwakili oleh satu wakil dalam lembaga perwakilan rakyat atau disebut juga sebagai single member constituencies.

Mahalnya biaya yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif dalam pemilihan umum juga berdampak pada meningkatnya kasus korupsi di Indonesia.

Setelah berhasil memenangkan posisi di lembaga perwakilan rakyat, akan muncul niat untuk memanfaatkan kekuasaannya guna mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.

Kekuasaan tersebut kemudian dijadikan bisnis tambahan yang mengakibatkan penurunan kualitas dan kredibilitas lembaga perwakilan rakyat. Anggota legislatif tidak lagi bertindak sebagai perwakilan rakyat, tetapi hanya mewakili kepentingan kelompok, golongan, bahkan kepentingan pribadi semata.

KESIMPULAN

” Berdasarkan penjabaran diskusi mengenai rumusan masalah yang diajukan di atas, dapat disimpulkan hal-hal berikut: Pertama, pelaksanaan Sistem Pemilihan Umum (Pemilu) yang terbuka dan murni sejak tahun 2009 merupakan bentuk penghargaan terhadap demokrasi dan kedaulatan rakyat. Rakyat diberikan kesempatan yang luas untuk menggunakan hak pilihnya dalam menentukan calon legislatif yang sah sebagai wakil rakyat.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi sebagai pelopor hadirnya sistem proporsional terbuka juga menegaskan bahwa dalam negara yang menghargai kedaulatan rakyat, kehendak rakyat harus diperhatikan dan mampu mewakili keinginan rakyat. Kedua, implementasi sistem pemilu mekanis dalam sejarah negara Indonesia diterapkan sejak awal kemerdekaan dengan sistem proporsional tertutup. Pada awal era reformasi, sistem proporsional tertutup diubah menjadi sistem proporsional terbuka terbatas dengan alasan menghargai kedaulatan rakyat dan prinsip demokrasi. Baru pada tahun 2009, sistem proporsional terbuka murni diterapkan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.

Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya masih ditemukan kendala dan dampak negatif dari sistem proporsional terbuka murni ini, yang disebabkan oleh kurangnya kematangan politik dan sikap oportunis dalam upaya mewujudkan demokrasi. (Red)

Image

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *