• Home
  • Deli Serdang
  • Fakultas Hukum UNHAR : Laksanakan Pengabdian Masyarakat, tentang ” Sosialisasi Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Korban Kejahatan Seksual di Desa Lama Pantai Labu.”
Image

Fakultas Hukum UNHAR : Laksanakan Pengabdian Masyarakat, tentang ” Sosialisasi Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Korban Kejahatan Seksual di Desa Lama Pantai Labu.”

Foto : Pengabdi Dosen Dan Mahasiswa UNHAR di pantai Labu/Ist/keadilanews.(9/6) 

Deli Serdang | Keadilanews.com, – Dosen dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Harapan Medan (UNHAR) melaksanakan Sosialisasi Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Korban Kejahatan Seksual Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022,di desa lama pantai labu kab. Demi serdang. Jumat (9/6/2023)

“Undang-undang ini merupakan angin segar bagi perempuan dan anak Indonesia yang paling rentan menjadi korban kekerasan seksual karena merupakan Undang-undang, “Lex Specialist, ” yang dapat memberikan perlindungan komprehensif terhadap korban kekerasan seksual dari hulu hingga ke hilir dengan mencegah segala bentuk kekerasan seksual ; menangani, melindungi, dan memulihkan korban; melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku ; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual,” ujar Pretty Elisabeth Pardosi, anggota tim pengabdian dari mahasiswa.

Lebih lanjut Pretty menerangkan, pengesahan Undang-undang TPKS sejalan dengan salah satu isu prioritas Presiden Republik Indonesia kepada Kemen PPPA, yaitu penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Korban dan Negara mengalami dampak luar biasa akibat TPKS yang meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik. Oleh karena itu, peraturan komprehensif yang mengatur tentang kekerasan seksual menjadi sangat dibutuhkan,” tutur Pretty.

Tim Pengabdian, Muslim Harahap, SH.,M.H., Sugih Ayu Pratitis, S.H., M.Hum. dan Rehulina, S.H., M.Hum. mengatakan, tidak hanya pemulihan, penanganan, dan penyelesaian kasus kekerasan seksual, UU TPKS juga mengatur mengenai pencegahan melalui partisipasi masyarakat. “Kita harus mendorong adanya partisipasi publik, partisipasi masyarakat, terutama partisipasi keluarga untuk memastikan pencegahan bisa dilaksanakan secara masif.

Oleh karena itu, organisasi perempuan, organisasi kemasyarakatan, jaringan masyarakat, dan Pemerintah perlu melakukan berbagai upaya sosialisasi dan diseminasi, sehingga masyarakat dapat memahami esensi UU ini,” ujar Muslim Harahap.

Sugih menjelaskan, terdapat beberapa terobosan hukum yang diatur dalam UU TPKS. “UU ini hadir dengan berperspektif hak korban untuk menangani, melindungi, dan memulihkan korban. Oleh karena itu, terdapat pengaturan hukum acara yang komprehensif mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan dengan memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, serta tanpa intimidasi,” jelas Sugih.

Menurut Sugih, berbeda dengan peraturan perundangan lainnya, restitusi ditetapkan sebagai pidana pokok dalam UU TPKS. “Selain itu, tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan atau restorative justice terkait perkara TPKS, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana yang diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak,” ujar Sugih.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Sub Bagian Sumberdaya Sekretariat Pusat Indonesia Automatic Fingerprint Identification System Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Sumda Setpusinafis Bareskrim Polri), Rita Wulandari Wibowo menjelaskan, terdapat 9 jenis TPKS dalam UU tersebut, yaitu pelecehan seksual non fisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan strerilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

“Dalam pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa tindak pidana kekerasan lainnya yang sudah diatur dalam UU existing, seperti pemerkosaan juga diakui sebagai TPKS. Namun, tindak pidana yang belum diatur secara eksplisit dalam peraturan yang sudah ada, akan disampaikan dalam penormaan dari 9 jenis TPKS tersebut,” kata Rita.

Lebih lanjut, Rita menegaskan, lahirnya UU TPKS mendorong masyarakat berani melaporkan kasus kekerasan seksual yang dilihat atau dialaminya. “Apabila kasusnya terjadi sebelum UU ini diundangkan, yaitu 9 Mei 2022, tetapi baru dilaporkan, maka berlaku hukum acara maupun tata cara penanganan kasus dengan menggunakan UU TPKS. Berbeda ketika kasus itu sudah dilaporkan sebelum UU ini diundangkan, maka akan menggunakan aturan hukum yang berlaku sebelumnya,” jelas Rita.

Lebih lagi, Rehulina menuturkan kehadiran UU TPKS merupakan penantian panjang dari seluruh perempuan Indonesia. “UNHAR merasa bangga karena hasil perjuangan panjang untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual kini sudah memiliki legalitas. Namun, tidak berhenti pada adanya legalitas semata, perjuangan kita masih belum selesai, ini adalah awal tugas panjang kita untuk mendampingi, mengawal, dan mensosialisasikan implementasi UU TPKS,” pungkas Rehulina. (Red/Tim)

Image

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *